Minggu, 13 April 2014

STAPECI


 
Gurat senyummu berpendar
Letihku terbasuh sekejap memudar
Jarak engkau halau
Disini kita bersua gurau
Bersatu dalam janji
Rapi terukir dalam sanubari
Menganyam ikrar abadi
Menuju ikatan abadi. Disini!
Sepotong episode suci
Stasiun perujakan Cirebon, STAPECI.

Berdiri menatapnya seperti ini, rasanya mimpi. Dia benar-benar dihadapanku, tepat dihadapanku. Penglihatanku kabur seketika, berair. Ayolah, ini momen bahagia kenapa harus mewek, batinku. Tapi begitulah aku, ketika hati sudah tak kuasa maka air mata yang mengurai. Lekas ku seka sudut mataku agar dia tak menyadari keharuanku, yang ada nanti GR lagi dia.
“untukmu” dia tersenyum renyah sembari menyerahkan kotak hadiah.
Amboi, romantis nian mahlukmu ini ya Tuhan. Seperti tersihir aku menatap penuh bahagia garis wajahnya. Bagaimana tidak tercengang bahagia coba, baru semalam dia meminta maaf tidak bisa menemuiku lantaran interview kerja. Sekarang dia tepat disampingku dalam dimensi waktu yang sama, tanpa jarak.
“perasaan semalam ada yang pamit interview kerja, ijin tidur cepat karena takut bangun telat. Tapi kok bohong ya?” sindirku manja tanpa menatapnya.
“loh, siapa yang bohong? semalam aku pamit interview saja toh, tidak pakai kerja. Niatku memang mau interview untuk posisi penjaga hati, bagaimana?” skakmat. Rupanya dia balik nyerang menyindirku, pipiku sudah sebelas duabelas dengan tomat ranum, merah.
Sungguh melayang rasanya melihat pengorbanannya demi menemuiku. Bekasi-cirebon dia tempuh dengan motor untuk pertemuan ini. Padahal tadi malam aku hanya berkeluh kesah karena harus menunggu jadwal kereta hingga sore sendirian, pasti menjemukan.  Ups…ada tambahannya, aku bilang padanya seandainya ada yang menemani pasti lebih seru. Kalau ada yang menemani aku juga ingin mengunjungi keraton, mumpung di Cirebon. Kalau sendiri takutnya ada yang menculik,hehe. Dan pamungkasnya adalah menikmati sedapnya makanan khas kota udang ini.
Empal gentong!
Satu hal ini yang langsung terbersit dalam pikiranku saat pertama kali turun dari bis di terminal tadi. Kalau sudah ketemu kuliner baru,  otakku berputar 180 derajat. Fokus pada gambaran dan bayangan rasanya, hmmmm yummmi. Eneg yang dari tadi melanda sirna seketika, padahal sepanjang perjalanan bukan main mualnya, bagaimana tidak? Majalengka-Cirebon berdiri dalam  bis yang over load muatannya. Aih…. jangan Tanya bagaimana rasanya, isi perut, serasa diblender pakai tombol speed yang maximal. Ternyata perhitunganku tepat, lebih baik naik bis sampai Cirebon saja kemudian naik kereta ke Surabaya dari pada naik bis dari Majalengka ke Surabaya langsung, bisa mati dijalan. Seandainya saja ada kereta jurusan Majalengka-Surabaya pasti perjalanan pulangku ini lebih nyaman tanpa bis.
Semalam dia bertanya “kenapa harus ke Cirebon dulu? Naik bis dari Majalengka lagngsung ke Surabaya kan bisa?”
“kenal aku berapa tahun? mau kalau aku mati dalam bis? Lagian aku sudah beli tiket keretanya, jadi susdah pasti”
“husstt tidak boleh bicara begitu mati kok dibuat main-main,  jadwal keretanya jam berapa?”
“ya habisnya udah tau mabok masih disuruh naik bis. Jadwalnya aku lupa sebentar aku lihat tiket dulu, berangkat pukul 17.50”  kulipat tiket keberangkatanku ke dalam tas.
“sayank, cari pintu doraemon dong…temenin aku besok, dari sini berangkatnya pukul delapan ke Cirebon. Mungkin perjalanannya satu sampai dua jam, berarti sampai pukul sepuluh kira-kira di terminal Cirebon. Sayang ayo pinjem pintu doraemon, temenin aku. Masak iya aku nunggu dari pukul sepuluh pagi sampai sore sendirian? Yang ada bakalan seperti orang ilang di stasiun karena nunggu terlalu lama”rengekku merajuk. Bukannya mengabulkan permintaanku, malah pamit tidur duluan karena ada interview katanya takut kesiangan bangunnya. Tidak kenal alarm apa ya? Huuuuu…. Dongkol rasanya.
Tapi ternyata? Dia mengerjaiku semalam. Bukan karena menemukan pintu doraemon dia memenuhi permintaanku, tapi karena kekhawatirannya melepas aku sendirian di kota yang belum pernah kusinggahi ini. Saat dalam perjalanan dering HP mennjukkan ada sms masuk, Ali Habiby yang terpampang di layar ponselku sebagai pengirim pesan. “jaga diri baik-baik ya sayank, jangan mabok pasti kuat kok. aku tunggu di pintu masuk terminal”. What? Pintu masuk terminal? Apa yang dia maksud terminal Cirebon? Rasanya tidak sabar ingin lekas sampai, awas saja kalau bohong.
Hari ini sungguh lengkap rasanya. Mengunjungi keraton kasepuhan Cirebon , makan empal gentong, menikmati ice cream durian asli, dibonceng keliling kota, bersamanya sungguh istimewa. Aku percaya setiap langkah adalah cerita, dan langkahku bersamamu hari ini adalah sepotong episode bermakna dalam perjalanan cintaku. Aku tahu tidak ada yang abadi di dunia ini, tapi aku yakini sepenggal perjalanan kita hari ini akan terkenang hingga nanti. Kubawa serta janji setiamu ke kotaku, janji setia yang terucap di ruang tunggu keberangkatan stasiun perujakan Cirebon. Entah hubungan kita akan selamanya atau tidak yang pasti aku bahagia telah menorehkan sepotong episode cintaku bersamamu.

REPUBLIK KONFLIK

 

“Hutan itu gelap…..hutan itu dingin….hutan itu….hutan….”

Seketika Niken terdiam tak meneruskan kalimatnya. Tubuhnya menggigil tak tertahankan, kemrutuk giginya terasa ngilu dalam pendengaranku. Vida lekas memeluknya begitu erat sembari memaksakan saputangan masuk disela-sela gigi Niken. Adakah yang salah dengan tempat ini? Ini taman kota. Apa hubungannya dengan hutan? Sama-sama dihuni pohon, iya.

Saya mencoba memalingkan wajah kearah Vida. Niken tenang dalam pelukannya, nafasnya mulai tertur.  Vida hanya mengangguk tak berkata apapun, semakin membuatku bingung. Kucoba untuk bersikap wajar toh apa urusannya denganku atas apa yang terjadi pada mereka? mereka bukan siapa-siapa.

Mereka hanyalah dua perempuan asing yang kukenal sambil lalu di atas sebuah angkot beberapa waktu lalu. Namun rasanya mayoritas darah dalam tubuhku berdemo, menginginkan mengenal mereka lebih jauh. Sepertinya mereka sudah seperti saudaraku, tapi saudara dari mana? Tiba-tiba pipi Niken telah bersimbah air mata, alirannya menggenangi lesung pipitnya. sejak kapan dia menangis?
“mbak Hani….bawa aku bermain, aku ingin sekali bermain, pantai atau apa saja…”
Niken memanggil namaku? memanggilku mbak? Berarti Niken tidak mempunyai kelainan! Begitu jahatnya aku pernah berpikir seperti itu!
“asal jangan hutan!!!” suara Niken yang penuh amarah membuatku tercekat.
 “Niken mau bermain kerumah mbak Hani?” Tanya Vida pelan, diam menjadi jawabannya. Lagi- lagi Niken kembali terpekur dalam diam dan dunianya.

Kami bertiga duduk didekat kolam ikan yang beraksen air mancur.  Sesekali air biasan membasahi pori-pori kulit terbawa angin yang lumayan sejuk. Sambil menikmati legitnya kue rangin kucoba memberanikan diri bertanya, apa sebenarnya yang terjadi pada Niken. Karena Vida telah mengajakku bertemu berarti secara tidak langsung dia telah menganggapku sedikit banyak masuk dalam kehidupannya, terutama perihal Niken adik sepupunya.

Vida menghembuskan nafas panjang seperti hendak mengeluarkan seluruh isi dadanya melalui satu hentakan nafas. Nafas berat, sama beratnya dengan perjalanan hidup Niken yang dia ceritakan secara berurutan.

Vida bercerita layaknya guru TK yang sedang mendongeng dari awal hingga babak akhir cerita. Namun Vida terlihat lebih mirip didong, pendongeng keliling di Aceh yang menceritakan penderitaan rakyat Aceh akibat gelombang maut, suaranya benar-benar menyayat hati.  Saya pernah melihatnya di TV saat tsunami terjadi beberapa tahun yang lalu.

Niken bukanlah salah satu korban tsunami, dia diboyong ke Sampit oleh keluarga Vida sebelum tsunami terjadi. Niken adalah yatim piatu, ibunya meninggal ketika melahirkannya. Jadilah dia begitu dekat dengan ayahnya yang sekaligus ibunya didunia ini. Tragedi GAM merenggut semua kebahagiannya, masa kecilnya, juga  ayah yang begitu dicintainya.

            Malam itu Niken kecil masih terlelap bersama peri dalam mimpinya. Saat ayahnya dengan lembut membopong tubuh mungilnya, mendekap erat dalam pelukan yang dipenuhi keringat dingin dan kecemasan luar biasa. Malam itu Niken kecil dibawa berlari kearah hutan nan pekat. Niken tentu belum paham apa yang terjadi, dia juga belum paham apa itu GAM apalagi DOM –Daerah Operasi Militer- , yang dia tahu gelap, seram, dingin.

Yang dia ingat hanya satu, letusan senapan yang menumbangkan tubuh sang ayah, membawanya jatuh tersungkur berguling-guling berlumuran lumpur sisa hujan sepanjang siang tadi. Niken kecil tidak pernah menangis sedikitpun.

Tak ada air mata yang mengiringi kepergian sang ayah, dia hanya sedikit ketakutan ketika seseorang lelaki tambun menggendongnya dan terus berlari. Meninggalkan jasad sang ayah di dalam hutan belantara.

Dia tak pernah tahu kemanakah jasad ayahnya sekarang? adakah orang yang sudi menyemayamkannya secara layak? ataukah jasad itu tetap disana, hingga tak tersisa satu bagianpun termakan alam. Saya sedikit bergidik mendengar cerita Vida, betapa seram dan mencekam hidup ditengah-tengah konflik seperti Niken.

Apakah ayah Niken anggota GAM? Atau seoarang aparat? Atau bukan keduanya? Entahlah, mungkin masih banyak Niken-Niken lain dibelahan bumi Indonesia ini. Masih terkepung konflik dan berbagai macam pertikaian.

 Keluarga Vida menemukan Niken disalah satu dayahpesanteren- setelah lama mencarinya. mungkin orang yang menolong Niken membawanya ke dayah tersebut karena tahu Niken tak memiliki siapa-siapa lagi. Saat ditemukan Niken tidak dapat lagi berkomunikasi karena mengidap shell shock, penyakit otak yang diakibatkan oleh letusan hebat dalam perang.

Saya juga pernah membaca sebuah resensi yang berisi “Gemetar tak terkendali, mimpi buruk mengerikan dan kejang adalah beberapa efek mengganggu dari penyakit traumatis yang disebut shock shell”.
Sebelum terapi ke Surabaya Niken pernah menjalani pengobatan di RSJ Sumbang Lihum di Kalimantan dan melanjutkan pengobatan ke RSJ Menur Surabaya.

 Beberapa waktu lalu kubantu mencari kontrakan murah didaerah manyar agar dekat dengan RSJ menur untuk pemulihan jiwa Niken. Sedikit demi sedikit niken telah bisa berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya seperti dengan bapak ibuku, terutama dengan bapak.

Mungkin Niken merasa nyaman karena sudah sering main ke kios orangtuaku didekat kontrakannya, bapak sering mengajaknya ngobrol meskipun awalnya Niken tidak bergeming sedikitpun. Niken semakin percaya untuk berkomunikasi dengan bapak. Mungkin ia dekat dengan beliau karena merasa seperti ayahnya sendiri.

Hampir 5 bulan Niken manjalani terapi di Surabaya, Vida dan Niken semakin dekat dengan keluargaku. Untuk menepati janjiku pada Niken liburan semester ini kuajak Niken dan Vida liburan bersama keluargaku ke tanah kelahiranku di Jogjakarta. Semoga angin sejuk gunung kidul menyempurnakan proses pemulihan Niken.


            Hari kedua di Jogja kutepati janjiku untuk mengajak Niken ke pantai. Dari desa tambakromo tidak jauh untuk sampai pantai. Di desa tepus berjejer pantai indah khas pantai selatan mulai dari pantai sundak, baron, drini, dan masih banyak lainnya. Niken begitu ceria menapaki hamparan pasir halus dengan bertelanjang kaki berlarian menuju bibir pantai. Apalagi saat riak ombak kecil menjilati kakinya membawa sebagian butir pasir dikakinya hanyut dalam gulungan gelombang,
“Han, terimakasih nanti kalau saya kembali ke Sampit akan saya bawa orang tua saya ke Surabaya menemui kamu juga bapak dan ibu” tukas Vida sembari nyruput es degan di tangannya.
“pintu rumahku selalu terbuka untuk kamu dan Niken, eh salah kalau ke Surabaya berarti pintu kiosku, kalau ke jogja baru pintu rumahku” jelasku disambut tawa ngakak vida, disekelilingku bermain pula adik-adik kecilku seperi tuyul yang lari kesana kemari mengangkut pasir.

Seandainya seluruh penduduk Indonesia mau saling mengerti seperti matahari dan rembulan yang tak pernah berebut muncul, pasti telah tercapai Indonesia yang sesuai dengan semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA. Tidak akan ada lagi babak kehidupan seperti yang dialami Niken.

sebagai kaula muda kita harus memupuk sedari dini, kita saudara dari manapun kita berasal. Aceh, Belitong, Sampit, Surabaya, Madura, Jogja, Makasar, Papua, Manado, semua dari Sabang sampai merauke . Sebagai ujung tombak bangsa dan calon cendekia.

Kitalah generasi muda yang harus mulai membangun. Memupuk rasa persaudaraan diantara kita semua yang berdiri diatas tanah yang kita banggakan zamrud khatulistiwa­


“INDONESIA JAYA!” pekik ku keras-keras ditepian hemburan ombak
“INDONESIA SENTOSA!”balas Niken sambil mengulum senyum.

Tentu akan indah melebihi segala-galanya saat kita semua bisa hidup dalam persaudaraan atas dasar perasaan satu tanah air INDONESIA, perdamaian Indonesia tentu tidak lagi akan menjadi mimpi belaka seperti langit dan laut yang berbeda unsur juga terpisah jarak yang amat jauh namun barsatu apik nan elok saat panorama matahari terbenam  membentuk sebentang garis horizon sore ini menghiasi laut gunungkidul.

Tubuh Niken ambruk dan kejang, kami semua panik. Seperti biasa Vida memeluk dan menenangkannya, adakah yang memicu Niken tertekan hingga shellshocknya kembali menguasai jiwanya? Bukankah dokter telah memastikan kesembuhan Niken. Apakah dokter salah ketik nama? Atau datanya tertukar layaknya cerita sinetron. Jelas-jelas dokter telah menyatakan kesembuhan Niken.

Niken terkulai lemas dan meminta Vida membuka amplop putih yang ia keluarkan dari saku jaketnya. Surat? Apa semacam surat wasiat. Vida membuka pelan amplop itu, astaga bahkan tulisan itu terketik rapi. Niken mempersiapkannya begitu terencana hingga tak ada satupun dari kami yang mengetahui perihal surat itu. Pelukan erat kembali Vida rengkuhkan terhadap Niken. Keduanya tersenyum laksana menjemput keabadian.

Vida tersenyum? Betapa besar hatinya, mengembangkan senyum setelah membaca surat misteri dari Niken. Kusambar surat putih yang hampir terbang terlepas dari tangan Vida. Tercengang membacanya.

Tiket Fligt tujuan bandara Sultan IskandarMuda Aceh, 2seat.

****

merenda hati



“ucapan adalah sebuah doa”
Ternyata terbukti nyata, entah benar atau kebetulan yang pas. Empat tahun lalu batinku selalu mengharapkannya datang kembali, bahkan dengan status duda beranak pun akan kuterima dengan segenap hati. Ucapan itu kugumam dalam hati tepat dihari pernikahannya. Aku berangan-angan istrinya meninggal saat melahirkan anak pertama. A ku rela menjadi ibu tiri dari anaknya, aku  akan menyayanginya seperti anak kandungku sendiri. Tapi kenyatanya? Melihat senyumnya rasanya terhantam godam raksasa telak di ulu hati, sakit.  Rasa bahagia sebagai seorang ibu pun tak kunjung hinggap dihatiku. Ini bulan ketiga pernikahannku dengan Indra setelah ia resmi menduda karena pegat pati dengan Fatma. Kukira menjemput bahagia, namun yang ada siksa. Tangisan Irsyad selalu menggedor gendang telingaku, pekak. Pun begitu setiap senyumnya, wajah Fatma selalu terlihat disana. Tersenyum nyiyir karena aku menikahi mantan suaminya, suamiku suami bekas. #tbc

KUNANTI SENYUMMU DALAM INDAHNYA “SYAHADAT”



“duk tolong kirim nama lengkapnya anak jakarta”,
satu sms yang ku terima disela-sela perkuliahan sosiolinguistik dari bapak yang belum sempat terbalas karena mendapatkan hadiah special dari dosen mata kuliah berupa pembacaan jawaban tugas minggu lalu di depan seluruh isi kelas, hadiah kerena terlambat masuk kelas bareng sebelas teman lainnya yang telat rombongan karena makan siang jama’ah, apesnya tempat duduk yang kosong hanya deretan depan meskipun dalam perkuliahan biasanya juga tak jarang saya duduk di bangku deretan paling depan tapi tidak untuk kali ini karena wabilkhusus mata kuliah ini dapat dipastikan mampu membuat leher teklak-tekluk ngantuk.
“pakai literature apa mbak?” selidik dosen sambil berdiri tepat di depan saya dengan senyum-senyum karena jawabannya memang banyak yang ngawur,haha
“bukunya Abdul Chaer bu….” Sambil menggigit bibir ku jawab, pasti teman-teman sekoloni dibelakang pada tertawa puas karena aku yang kena, pasalnya tadi aku lah yang punya ide makan rame-rame
“bacanya pasti sepotong-sepotong, untuk jawaban konsep language, langue dan parol masih bisa dipahami tapi yang lain waduh…..sepertinya mengarang bebas” aku hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya sambil berharap semoga ada jawaban teman lain yang sama hancurnya dengan garapanku yang memang aku garap ba’da shubuh tadi, dan yes akhirnya ada yang ketahuan jawabannya sama pleg dengan jawaban mahasiswa lain sehingga ceramah dosen pun beralih topic dari jawaban mengarang bebasku ke praktek percopy-pastean, Alhamdulillah…..
Setelah perkulaihan usai baru lah bisa ku balas sms bapak yang sedari tadi masuk ke inbox HP,
sultan alfatih send…
Sampai malam pun belum juga ku temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bercokol dalam benak pikiran dari tadi siang, ada apa bapak menanyakan namanya?
Sampai menjelang tidur masih terus saling berkirim sms dengan seseorang yang namanya tidak hanya menghadiri hariku tapi juga telah merambah mengahadiri hari-hari keluargaku, entah apa yang membuat aku berani menceritakan sosok yang belum ku tatap parasnya secara langsung kepada kedua orang tuaku dan dialah orang pertama yang bapak tanyakan nama lengkapnya dari sekian cowok yang sempat dekat denganku, karena sebelum-sebelumnya setiap aku menceritakan tentang kedekatanku dengan cowok bapak dan ibu pasti akan bilang berteman saja dulu masih muda masih sekolah puas-puasin dulu maennya, tapi tidak dengan yang sekarang ibu dan bapak hanya diam dan hanya bertanya orang mana?,,,,hingga subuh menjelang pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku masih setia berputar-putar dalam ranah harap-harap cemasku. Setelah sholat shubuh bapak turun dari kamar atas langsung menyalakan TV diruang tamu, tidak biasanya…..setelah sholat shubuh pasti bapak nonton TV di kamar atas ditemani secangkir kopi.
“atimu mantep?” pertanyaan bapak membuat aku gugup,
“kurang paham pak….” Ku jawab dengan segenap hati yang kian campur aduk
“lahir dimana?”
“belum pernah menanyakan”
“apa yang kamu ketahui tentang dia?”
“tidak banyak, hanya nama, tanggal lahir, alamat,pekerjaan, ehm….”
“masalah pekerjaan jangan pernah dipertanyakan duk, rejeki rahasia Allah kalau kamu tidak menerima pekerjaannya berarti kamu tidak menerima ketetapan Allah”
“saya tidak mempermasalahkan pekerjannya, seperti yang bapak ajarkan burung dan orang gila di jalanan saja bisa bertahun hidup apalagi kita yang masih sehat dan punya akal pikiran sehat”
“bapak tidak keberatan kamu dengan siapapun kelak,yang penting dia bisa syahadat……..satu lagi, jangan terlalu diharapkan berlebihan duk takutnya dia tidak datang untukmu,,,,bapak tidak mau kamu kecewa lagi, tunggulah dia dalam syahadatmu juga, jika besok atau lusa dia datang dengan syahadatnya bolehlah kamu mengasihi dia melebihi dirimu sendiri karena memang begitulah hakekat wong bebrayan, Cuma itu pesen bapak, masalah pesan yang kamu sampaikan lewat ibu kemarin shubuh jawabannya bagus….ayo siap-siap dulu bapak antar ke kampusnya”
Dari sejak berangkat kuliah tadi pagi hingga detik ini yang masih ku cari maknanya adalah syahadat yang bapak maksud….tidak mungkin hanya sekedar pelafalan dua kalimat syahadat, pasti ada beberapa makna yang perlu ku pelajari dan interpretasi sementara dari pemikiran saya yang dimaksud bapak adalah bisa saja sholat? Ya….syahadat ada dalam tahyat sholat…..mungkinkah bapak meminta seseorang yang tanggung jawab akan kewajiban sholatnya? Bisa saja…. Atau yang bapak maksud adalah pengamalan dari dua kalimat syahadat dalam kehidupan sehari-harinya? Mungkin tugasku dan tugas dia untuk sama-sama belajar menyelami dan mengamalkan makna dua kalimat syahadat yang semestinya, sebagai bekal menjalani hidup nanti. Dan kutuliskan di hamparan luas langit malam ini satu pesan cinta hanya untukmu “KU NANTI SENYUMMU DALAM INDAHNYA SYAHADAT”