Minggu, 13 April 2014

maling cilik



Maling!!! Maling!!! Tolong!!! Maling!!! Teriakan itu terus bersambung semakin riuh. Sontak seluruh warga kampung berhambur keluar rumah mencari sumber suara.
Maling!!!!!!! Maliiiing!!!!!! Bapak-bapak turut berteriak  dan  terus mengejar, mengikuti gerombolan anak kecil yang lebih dulu berteriak melengking. Warga berhasil membekuk pelaku di ujung gang, anak kecil!!! Mungkin usianya tak lebih dari 6tahun, sekecil itu sudah mencuri? Untuk apa?
Pak Sumaji mencengkram erat lengan anak itu, “kecil sudah jadi maling! Besar mau jadi apa kamu le ?” anak laki-laki itu hanya diam dan menatap pak Sumaji seperti tanpa dosa, polos.
“antarkan saja kerumahnya, biar dihajar sama orangtuanya. Biar kapok gak maling lagi, kalau dibiarkan bisa keterusan. Lama-lama habis sepeda anak kita, setiap hari ada saja yang hilang” satu per satu warga membentak dan menyumpahi maling sepeda mini itu. “iya benar, atau jangan-jangan malah orangtuanya yang menyuruh dia nyolong sepeda. Modus baru ini, pakai anak kecil biar dikasihani kalau tertangkap”
Prakkkk!!! Hantaman keras mendarat tepat pada kepala maling cilik itu, seorang anak perempuan memukulnya dengan tongkat peri berbentuk bintang hingga pelipisnya berdarah. Maling cilik itu kontan menangis sejadi-jadinya, rupanya sepeda anak permpuan itu yang dicuri. Tak tega melihat segera kurebut anak itu dari pak Sumaji. Kuangakat dia dalam gendonganku, ujung lengan bajuku kugunakan menyeka darah di pelipisnya. “rumahmu dimana nak?” dia menggeleng sambil terisak. “hafal jalan kerumah?” anggukannya kusambut dengan senyum agar dia lebih tenang. Pak Sumaji dan beberapa warga turut serta di belakangku mengantarnya. Sesuai arah yang dia tunjukkan rumah berpagar yang lumayan besar, lalu untuk apa mencuri? Mungkin anak ini memang bandhel, tidak mungkin mencuri karena faktor ekonomi. Beberapa kali memencet bel namun tak kunjung ada yang membuka pagar, bahkan pintu rumahpun sepertinya tidak ada tanda-tanda dibuka. Anak itu mengeluarkan kunci dari dalam saku celananya, merangsek turun dari gendonganku dan bergegas membuka pagar. Kami semua mengikuti langkahnya, saya menuju daun pintu dan mengetuknya beberapa kali namun tetap tak ada jawaban. Anak it uterus menuju samping rumah yang ternyata garasi, 4 sepeda mini berjejer disana! Ternyata anak ini benar-benar pencuri, apakah benar orang tuanya yang menyuruhnya?
“saya pinjam mbak” anak itu menunjuk jejeran sepeda mini, “saya lupa pinjam dimana, kalau saya kembalikan saya takut tertukar mbak” dia memakai bagian bawa kaosnya untuk mengelap ingus dan sisa air matanya. Beberapa warga memawa keluar garasi sepeda-sepeda itu, namun kemudian anak itu mengambil salah satu sepeda dan menaikinya “yang ini milik saya, yang itu bukan”
“kenapa pinjamnya lama?” kucoba mencari tahu alasan anak ini mencuri sepeda-sepeda itu.
“kasian sepedaku mbak sendirian, sepi.”
Dari pak RT yang menemui kerumunan kami, baru saya tahu bahwa nama anak kecil itu Fajar. Setiap hari kedua orang tuanya bekerja dan menitipkan Fajar pada tetangga sebelah rumahnya. Tapi Fajar tetap tinggal dirumahnya dengan beberapa jam sekali ditengok dan dikirim makanan oleh tetangganya itu. Dari sini saya mahfum kenapa tadi Fajar mengatakan kasian pada sepedanya yang sendirian, itu karena Fajar merasa kesepian ditinggal oleh kedua orang tuanya bekerja. Hal inilah yang menjadi latar belakang dia selalu membawa pulang sepeda-sepeda mini milik warga gang sebelah untuk menemani sepedanya di garasi. Mungkin sebagian orang tua berasumsi bahwa dia bekerja untuk membahagiakan buah hatinya, namun ada kebahagiaan lain dari si buah hati yang terabaikan yakni waktu dan perhatian. Sungguh pemikiran yang luar biasa dari seorang anak kecil, dia tidak rela sepedanya merasa  kesepian seperti yang dia rasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar