Maling!!!
Maling!!! Tolong!!! Maling!!! Teriakan itu terus bersambung semakin riuh.
Sontak seluruh warga kampung berhambur keluar rumah mencari sumber suara.
Maling!!!!!!!
Maliiiing!!!!!! Bapak-bapak turut berteriak
dan terus mengejar, mengikuti gerombolan
anak kecil yang lebih dulu berteriak melengking. Warga berhasil membekuk pelaku
di ujung gang, anak kecil!!! Mungkin usianya tak lebih dari 6tahun, sekecil itu
sudah mencuri? Untuk apa?
Pak
Sumaji mencengkram erat lengan anak itu, “kecil sudah jadi maling! Besar mau
jadi apa kamu le ?” anak laki-laki
itu hanya diam dan menatap pak Sumaji seperti tanpa dosa, polos.
“antarkan
saja kerumahnya, biar dihajar sama orangtuanya. Biar kapok gak maling lagi,
kalau dibiarkan bisa keterusan. Lama-lama habis sepeda anak kita, setiap hari
ada saja yang hilang” satu per satu warga membentak dan menyumpahi maling
sepeda mini itu. “iya benar, atau jangan-jangan malah orangtuanya yang menyuruh
dia nyolong sepeda. Modus baru ini, pakai anak kecil biar dikasihani kalau
tertangkap”
Prakkkk!!!
Hantaman keras mendarat tepat pada kepala maling cilik itu, seorang anak
perempuan memukulnya dengan tongkat peri berbentuk bintang hingga pelipisnya
berdarah. Maling cilik itu kontan menangis sejadi-jadinya, rupanya sepeda anak
permpuan itu yang dicuri. Tak tega melihat segera kurebut anak itu dari pak
Sumaji. Kuangakat dia dalam gendonganku, ujung lengan bajuku kugunakan menyeka
darah di pelipisnya. “rumahmu dimana nak?” dia menggeleng sambil terisak.
“hafal jalan kerumah?” anggukannya kusambut dengan senyum agar dia lebih
tenang. Pak Sumaji dan beberapa warga turut serta di belakangku mengantarnya.
Sesuai arah yang dia tunjukkan rumah berpagar yang lumayan besar, lalu untuk
apa mencuri? Mungkin anak ini memang bandhel, tidak mungkin mencuri karena
faktor ekonomi. Beberapa kali memencet bel namun tak kunjung ada yang membuka
pagar, bahkan pintu rumahpun sepertinya tidak ada tanda-tanda dibuka. Anak itu
mengeluarkan kunci dari dalam saku celananya, merangsek turun dari gendonganku
dan bergegas membuka pagar. Kami semua mengikuti langkahnya, saya menuju daun
pintu dan mengetuknya beberapa kali namun tetap tak ada jawaban. Anak it uterus
menuju samping rumah yang ternyata garasi, 4 sepeda mini berjejer disana!
Ternyata anak ini benar-benar pencuri, apakah benar orang tuanya yang
menyuruhnya?
“saya
pinjam mbak” anak itu menunjuk jejeran sepeda mini, “saya lupa pinjam dimana,
kalau saya kembalikan saya takut tertukar mbak” dia memakai bagian bawa kaosnya
untuk mengelap ingus dan sisa air matanya. Beberapa warga memawa keluar garasi
sepeda-sepeda itu, namun kemudian anak itu mengambil salah satu sepeda dan
menaikinya “yang ini milik saya, yang itu bukan”
“kenapa
pinjamnya lama?” kucoba mencari tahu alasan anak ini mencuri sepeda-sepeda itu.
“kasian
sepedaku mbak sendirian, sepi.”
Dari
pak RT yang menemui kerumunan kami, baru saya tahu bahwa nama anak kecil itu
Fajar. Setiap hari kedua orang tuanya bekerja dan menitipkan Fajar pada
tetangga sebelah rumahnya. Tapi Fajar tetap tinggal dirumahnya dengan beberapa
jam sekali ditengok dan dikirim makanan oleh tetangganya itu. Dari sini saya
mahfum kenapa tadi Fajar mengatakan kasian pada sepedanya yang sendirian, itu
karena Fajar merasa kesepian ditinggal oleh kedua orang tuanya bekerja. Hal inilah
yang menjadi latar belakang dia selalu membawa pulang sepeda-sepeda mini milik
warga gang sebelah untuk menemani sepedanya di garasi. Mungkin sebagian orang
tua berasumsi bahwa dia bekerja untuk membahagiakan buah hatinya, namun ada
kebahagiaan lain dari si buah hati yang terabaikan yakni waktu dan perhatian.
Sungguh pemikiran yang luar biasa dari seorang anak kecil, dia tidak rela
sepedanya merasa kesepian seperti yang
dia rasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar