Minggu, 13 April 2014

REPUBLIK KONFLIK

 

“Hutan itu gelap…..hutan itu dingin….hutan itu….hutan….”

Seketika Niken terdiam tak meneruskan kalimatnya. Tubuhnya menggigil tak tertahankan, kemrutuk giginya terasa ngilu dalam pendengaranku. Vida lekas memeluknya begitu erat sembari memaksakan saputangan masuk disela-sela gigi Niken. Adakah yang salah dengan tempat ini? Ini taman kota. Apa hubungannya dengan hutan? Sama-sama dihuni pohon, iya.

Saya mencoba memalingkan wajah kearah Vida. Niken tenang dalam pelukannya, nafasnya mulai tertur.  Vida hanya mengangguk tak berkata apapun, semakin membuatku bingung. Kucoba untuk bersikap wajar toh apa urusannya denganku atas apa yang terjadi pada mereka? mereka bukan siapa-siapa.

Mereka hanyalah dua perempuan asing yang kukenal sambil lalu di atas sebuah angkot beberapa waktu lalu. Namun rasanya mayoritas darah dalam tubuhku berdemo, menginginkan mengenal mereka lebih jauh. Sepertinya mereka sudah seperti saudaraku, tapi saudara dari mana? Tiba-tiba pipi Niken telah bersimbah air mata, alirannya menggenangi lesung pipitnya. sejak kapan dia menangis?
“mbak Hani….bawa aku bermain, aku ingin sekali bermain, pantai atau apa saja…”
Niken memanggil namaku? memanggilku mbak? Berarti Niken tidak mempunyai kelainan! Begitu jahatnya aku pernah berpikir seperti itu!
“asal jangan hutan!!!” suara Niken yang penuh amarah membuatku tercekat.
 “Niken mau bermain kerumah mbak Hani?” Tanya Vida pelan, diam menjadi jawabannya. Lagi- lagi Niken kembali terpekur dalam diam dan dunianya.

Kami bertiga duduk didekat kolam ikan yang beraksen air mancur.  Sesekali air biasan membasahi pori-pori kulit terbawa angin yang lumayan sejuk. Sambil menikmati legitnya kue rangin kucoba memberanikan diri bertanya, apa sebenarnya yang terjadi pada Niken. Karena Vida telah mengajakku bertemu berarti secara tidak langsung dia telah menganggapku sedikit banyak masuk dalam kehidupannya, terutama perihal Niken adik sepupunya.

Vida menghembuskan nafas panjang seperti hendak mengeluarkan seluruh isi dadanya melalui satu hentakan nafas. Nafas berat, sama beratnya dengan perjalanan hidup Niken yang dia ceritakan secara berurutan.

Vida bercerita layaknya guru TK yang sedang mendongeng dari awal hingga babak akhir cerita. Namun Vida terlihat lebih mirip didong, pendongeng keliling di Aceh yang menceritakan penderitaan rakyat Aceh akibat gelombang maut, suaranya benar-benar menyayat hati.  Saya pernah melihatnya di TV saat tsunami terjadi beberapa tahun yang lalu.

Niken bukanlah salah satu korban tsunami, dia diboyong ke Sampit oleh keluarga Vida sebelum tsunami terjadi. Niken adalah yatim piatu, ibunya meninggal ketika melahirkannya. Jadilah dia begitu dekat dengan ayahnya yang sekaligus ibunya didunia ini. Tragedi GAM merenggut semua kebahagiannya, masa kecilnya, juga  ayah yang begitu dicintainya.

            Malam itu Niken kecil masih terlelap bersama peri dalam mimpinya. Saat ayahnya dengan lembut membopong tubuh mungilnya, mendekap erat dalam pelukan yang dipenuhi keringat dingin dan kecemasan luar biasa. Malam itu Niken kecil dibawa berlari kearah hutan nan pekat. Niken tentu belum paham apa yang terjadi, dia juga belum paham apa itu GAM apalagi DOM –Daerah Operasi Militer- , yang dia tahu gelap, seram, dingin.

Yang dia ingat hanya satu, letusan senapan yang menumbangkan tubuh sang ayah, membawanya jatuh tersungkur berguling-guling berlumuran lumpur sisa hujan sepanjang siang tadi. Niken kecil tidak pernah menangis sedikitpun.

Tak ada air mata yang mengiringi kepergian sang ayah, dia hanya sedikit ketakutan ketika seseorang lelaki tambun menggendongnya dan terus berlari. Meninggalkan jasad sang ayah di dalam hutan belantara.

Dia tak pernah tahu kemanakah jasad ayahnya sekarang? adakah orang yang sudi menyemayamkannya secara layak? ataukah jasad itu tetap disana, hingga tak tersisa satu bagianpun termakan alam. Saya sedikit bergidik mendengar cerita Vida, betapa seram dan mencekam hidup ditengah-tengah konflik seperti Niken.

Apakah ayah Niken anggota GAM? Atau seoarang aparat? Atau bukan keduanya? Entahlah, mungkin masih banyak Niken-Niken lain dibelahan bumi Indonesia ini. Masih terkepung konflik dan berbagai macam pertikaian.

 Keluarga Vida menemukan Niken disalah satu dayahpesanteren- setelah lama mencarinya. mungkin orang yang menolong Niken membawanya ke dayah tersebut karena tahu Niken tak memiliki siapa-siapa lagi. Saat ditemukan Niken tidak dapat lagi berkomunikasi karena mengidap shell shock, penyakit otak yang diakibatkan oleh letusan hebat dalam perang.

Saya juga pernah membaca sebuah resensi yang berisi “Gemetar tak terkendali, mimpi buruk mengerikan dan kejang adalah beberapa efek mengganggu dari penyakit traumatis yang disebut shock shell”.
Sebelum terapi ke Surabaya Niken pernah menjalani pengobatan di RSJ Sumbang Lihum di Kalimantan dan melanjutkan pengobatan ke RSJ Menur Surabaya.

 Beberapa waktu lalu kubantu mencari kontrakan murah didaerah manyar agar dekat dengan RSJ menur untuk pemulihan jiwa Niken. Sedikit demi sedikit niken telah bisa berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya seperti dengan bapak ibuku, terutama dengan bapak.

Mungkin Niken merasa nyaman karena sudah sering main ke kios orangtuaku didekat kontrakannya, bapak sering mengajaknya ngobrol meskipun awalnya Niken tidak bergeming sedikitpun. Niken semakin percaya untuk berkomunikasi dengan bapak. Mungkin ia dekat dengan beliau karena merasa seperti ayahnya sendiri.

Hampir 5 bulan Niken manjalani terapi di Surabaya, Vida dan Niken semakin dekat dengan keluargaku. Untuk menepati janjiku pada Niken liburan semester ini kuajak Niken dan Vida liburan bersama keluargaku ke tanah kelahiranku di Jogjakarta. Semoga angin sejuk gunung kidul menyempurnakan proses pemulihan Niken.


            Hari kedua di Jogja kutepati janjiku untuk mengajak Niken ke pantai. Dari desa tambakromo tidak jauh untuk sampai pantai. Di desa tepus berjejer pantai indah khas pantai selatan mulai dari pantai sundak, baron, drini, dan masih banyak lainnya. Niken begitu ceria menapaki hamparan pasir halus dengan bertelanjang kaki berlarian menuju bibir pantai. Apalagi saat riak ombak kecil menjilati kakinya membawa sebagian butir pasir dikakinya hanyut dalam gulungan gelombang,
“Han, terimakasih nanti kalau saya kembali ke Sampit akan saya bawa orang tua saya ke Surabaya menemui kamu juga bapak dan ibu” tukas Vida sembari nyruput es degan di tangannya.
“pintu rumahku selalu terbuka untuk kamu dan Niken, eh salah kalau ke Surabaya berarti pintu kiosku, kalau ke jogja baru pintu rumahku” jelasku disambut tawa ngakak vida, disekelilingku bermain pula adik-adik kecilku seperi tuyul yang lari kesana kemari mengangkut pasir.

Seandainya seluruh penduduk Indonesia mau saling mengerti seperti matahari dan rembulan yang tak pernah berebut muncul, pasti telah tercapai Indonesia yang sesuai dengan semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA. Tidak akan ada lagi babak kehidupan seperti yang dialami Niken.

sebagai kaula muda kita harus memupuk sedari dini, kita saudara dari manapun kita berasal. Aceh, Belitong, Sampit, Surabaya, Madura, Jogja, Makasar, Papua, Manado, semua dari Sabang sampai merauke . Sebagai ujung tombak bangsa dan calon cendekia.

Kitalah generasi muda yang harus mulai membangun. Memupuk rasa persaudaraan diantara kita semua yang berdiri diatas tanah yang kita banggakan zamrud khatulistiwa­


“INDONESIA JAYA!” pekik ku keras-keras ditepian hemburan ombak
“INDONESIA SENTOSA!”balas Niken sambil mengulum senyum.

Tentu akan indah melebihi segala-galanya saat kita semua bisa hidup dalam persaudaraan atas dasar perasaan satu tanah air INDONESIA, perdamaian Indonesia tentu tidak lagi akan menjadi mimpi belaka seperti langit dan laut yang berbeda unsur juga terpisah jarak yang amat jauh namun barsatu apik nan elok saat panorama matahari terbenam  membentuk sebentang garis horizon sore ini menghiasi laut gunungkidul.

Tubuh Niken ambruk dan kejang, kami semua panik. Seperti biasa Vida memeluk dan menenangkannya, adakah yang memicu Niken tertekan hingga shellshocknya kembali menguasai jiwanya? Bukankah dokter telah memastikan kesembuhan Niken. Apakah dokter salah ketik nama? Atau datanya tertukar layaknya cerita sinetron. Jelas-jelas dokter telah menyatakan kesembuhan Niken.

Niken terkulai lemas dan meminta Vida membuka amplop putih yang ia keluarkan dari saku jaketnya. Surat? Apa semacam surat wasiat. Vida membuka pelan amplop itu, astaga bahkan tulisan itu terketik rapi. Niken mempersiapkannya begitu terencana hingga tak ada satupun dari kami yang mengetahui perihal surat itu. Pelukan erat kembali Vida rengkuhkan terhadap Niken. Keduanya tersenyum laksana menjemput keabadian.

Vida tersenyum? Betapa besar hatinya, mengembangkan senyum setelah membaca surat misteri dari Niken. Kusambar surat putih yang hampir terbang terlepas dari tangan Vida. Tercengang membacanya.

Tiket Fligt tujuan bandara Sultan IskandarMuda Aceh, 2seat.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar