“Hutan itu gelap…..hutan itu
dingin….hutan itu….hutan….”
Seketika Niken
terdiam tak meneruskan kalimatnya. Tubuhnya menggigil tak tertahankan, kemrutuk
giginya terasa ngilu dalam pendengaranku. Vida lekas memeluknya begitu erat
sembari memaksakan saputangan masuk disela-sela gigi Niken. Adakah yang salah dengan
tempat ini? Ini taman kota. Apa hubungannya dengan hutan? Sama-sama dihuni
pohon, iya.
Saya mencoba
memalingkan wajah kearah Vida. Niken tenang dalam pelukannya, nafasnya mulai
tertur. Vida hanya mengangguk tak
berkata apapun, semakin membuatku bingung. Kucoba untuk bersikap wajar toh apa
urusannya denganku atas apa yang terjadi pada mereka? mereka bukan siapa-siapa.
Mereka hanyalah
dua perempuan asing yang kukenal sambil lalu di atas sebuah angkot beberapa
waktu lalu. Namun rasanya mayoritas darah dalam tubuhku berdemo, menginginkan
mengenal mereka lebih jauh. Sepertinya mereka sudah seperti saudaraku, tapi
saudara dari mana? Tiba-tiba pipi Niken telah bersimbah air mata, alirannya
menggenangi lesung pipitnya. sejak kapan dia menangis?
“mbak Hani….bawa aku bermain, aku
ingin sekali bermain, pantai atau apa saja…”
Niken memanggil namaku? memanggilku
mbak? Berarti Niken tidak mempunyai kelainan! Begitu jahatnya aku pernah
berpikir seperti itu!
“asal jangan hutan!!!” suara Niken
yang penuh amarah membuatku tercekat.
“Niken mau bermain kerumah mbak Hani?” Tanya
Vida pelan, diam menjadi jawabannya. Lagi- lagi Niken kembali terpekur dalam
diam dan dunianya.
Kami bertiga
duduk didekat kolam ikan yang beraksen air mancur. Sesekali air biasan membasahi pori-pori kulit
terbawa angin yang lumayan sejuk. Sambil menikmati legitnya kue rangin kucoba
memberanikan diri bertanya, apa sebenarnya yang terjadi pada Niken. Karena Vida
telah mengajakku bertemu berarti secara tidak langsung dia telah menganggapku
sedikit banyak masuk dalam kehidupannya, terutama perihal Niken adik sepupunya.
Vida
menghembuskan nafas panjang seperti hendak mengeluarkan seluruh isi dadanya melalui
satu hentakan nafas. Nafas berat, sama beratnya dengan perjalanan hidup Niken
yang dia ceritakan secara berurutan.
Vida bercerita
layaknya guru TK yang sedang mendongeng dari awal hingga babak akhir cerita. Namun
Vida terlihat lebih mirip didong, pendongeng
keliling di Aceh yang menceritakan penderitaan rakyat Aceh akibat gelombang
maut, suaranya benar-benar menyayat hati. Saya pernah melihatnya di TV saat tsunami
terjadi beberapa tahun yang lalu.
Niken bukanlah salah
satu korban tsunami, dia diboyong ke Sampit oleh keluarga Vida sebelum tsunami
terjadi. Niken adalah yatim piatu, ibunya meninggal ketika melahirkannya. Jadilah
dia begitu dekat dengan ayahnya yang sekaligus ibunya didunia ini. Tragedi GAM
merenggut semua kebahagiannya, masa kecilnya, juga ayah yang begitu dicintainya.
Malam
itu Niken kecil masih terlelap bersama peri dalam mimpinya. Saat ayahnya dengan
lembut membopong tubuh mungilnya, mendekap erat dalam pelukan yang dipenuhi
keringat dingin dan kecemasan luar biasa. Malam itu Niken kecil dibawa berlari
kearah hutan nan pekat. Niken tentu belum paham apa yang terjadi, dia juga
belum paham apa itu GAM apalagi DOM –Daerah
Operasi Militer- , yang dia tahu gelap, seram, dingin.
Yang dia ingat hanya
satu, letusan senapan yang menumbangkan tubuh sang ayah, membawanya jatuh
tersungkur berguling-guling berlumuran lumpur sisa hujan sepanjang siang tadi.
Niken kecil tidak pernah menangis sedikitpun.
Tak ada air mata
yang mengiringi kepergian sang ayah, dia hanya sedikit ketakutan ketika
seseorang lelaki tambun menggendongnya dan terus berlari. Meninggalkan jasad
sang ayah di dalam hutan belantara.
Dia tak pernah
tahu kemanakah jasad ayahnya sekarang? adakah orang yang sudi menyemayamkannya
secara layak? ataukah jasad itu tetap disana, hingga tak tersisa satu bagianpun
termakan alam. Saya sedikit bergidik mendengar cerita Vida, betapa seram dan
mencekam hidup ditengah-tengah konflik seperti Niken.
Apakah ayah
Niken anggota GAM? Atau seoarang aparat? Atau bukan keduanya? Entahlah, mungkin
masih banyak Niken-Niken lain dibelahan bumi Indonesia ini. Masih terkepung
konflik dan berbagai macam pertikaian.
Keluarga Vida menemukan Niken disalah satu dayah –pesanteren- setelah lama mencarinya. mungkin orang yang menolong
Niken membawanya ke dayah tersebut karena tahu Niken tak memiliki siapa-siapa
lagi. Saat ditemukan Niken tidak dapat lagi berkomunikasi karena mengidap shell shock, penyakit otak yang
diakibatkan oleh letusan hebat dalam perang.
Saya juga pernah
membaca sebuah resensi yang berisi “Gemetar tak terkendali, mimpi buruk mengerikan
dan kejang adalah beberapa efek mengganggu dari penyakit traumatis yang disebut
shock shell”.
Sebelum terapi
ke Surabaya Niken pernah menjalani pengobatan di RSJ Sumbang Lihum di Kalimantan
dan melanjutkan pengobatan ke RSJ Menur Surabaya.
Beberapa waktu lalu kubantu mencari kontrakan
murah didaerah manyar agar dekat dengan RSJ menur untuk pemulihan jiwa Niken. Sedikit
demi sedikit niken telah bisa berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya seperti
dengan bapak ibuku, terutama dengan bapak.
Mungkin Niken
merasa nyaman karena sudah sering main ke kios orangtuaku didekat kontrakannya,
bapak sering mengajaknya ngobrol meskipun awalnya Niken tidak bergeming
sedikitpun. Niken semakin percaya untuk berkomunikasi dengan bapak. Mungkin ia dekat
dengan beliau karena merasa seperti ayahnya sendiri.
Hampir 5 bulan Niken
manjalani terapi di Surabaya, Vida dan Niken semakin dekat dengan keluargaku.
Untuk menepati janjiku pada Niken liburan semester ini kuajak Niken dan Vida
liburan bersama keluargaku ke tanah kelahiranku di Jogjakarta. Semoga angin
sejuk gunung kidul menyempurnakan proses pemulihan Niken.
Hari
kedua di Jogja kutepati janjiku untuk mengajak Niken ke pantai. Dari desa tambakromo
tidak jauh untuk sampai pantai. Di desa tepus berjejer pantai indah khas pantai
selatan mulai dari pantai sundak, baron, drini, dan masih banyak lainnya. Niken
begitu ceria menapaki hamparan pasir halus dengan bertelanjang kaki berlarian
menuju bibir pantai. Apalagi saat riak ombak kecil menjilati kakinya membawa
sebagian butir pasir dikakinya hanyut dalam gulungan gelombang,
“Han, terimakasih nanti kalau saya
kembali ke Sampit akan saya bawa orang tua saya ke Surabaya menemui kamu juga
bapak dan ibu” tukas Vida sembari nyruput
es degan di tangannya.
“pintu rumahku selalu terbuka untuk
kamu dan Niken, eh salah kalau ke Surabaya berarti pintu kiosku, kalau ke jogja
baru pintu rumahku” jelasku disambut tawa ngakak vida, disekelilingku bermain
pula adik-adik kecilku seperi tuyul yang lari kesana kemari mengangkut pasir.
Seandainya
seluruh penduduk Indonesia mau saling mengerti seperti matahari dan rembulan
yang tak pernah berebut muncul, pasti telah tercapai Indonesia yang sesuai dengan
semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA. Tidak akan ada lagi babak kehidupan seperti yang
dialami Niken.
sebagai kaula
muda kita harus memupuk sedari dini, kita saudara dari manapun kita berasal.
Aceh, Belitong, Sampit, Surabaya, Madura, Jogja, Makasar, Papua, Manado, semua
dari Sabang sampai merauke . Sebagai ujung tombak bangsa dan calon cendekia.
Kitalah generasi
muda yang harus mulai membangun. Memupuk rasa persaudaraan diantara kita semua
yang berdiri diatas tanah yang kita banggakan zamrud khatulistiwa”
“INDONESIA JAYA!” pekik ku keras-keras
ditepian hemburan ombak
“INDONESIA SENTOSA!”balas Niken
sambil mengulum senyum.
Tentu akan indah
melebihi segala-galanya saat kita semua bisa hidup dalam persaudaraan atas
dasar perasaan satu tanah air INDONESIA, perdamaian Indonesia tentu tidak lagi
akan menjadi mimpi belaka seperti langit dan laut yang berbeda unsur juga
terpisah jarak yang amat jauh namun barsatu apik nan elok saat panorama matahari
terbenam membentuk sebentang garis
horizon sore ini menghiasi laut gunungkidul.
Tubuh Niken
ambruk dan kejang, kami semua panik. Seperti biasa Vida memeluk dan
menenangkannya, adakah yang memicu Niken tertekan hingga shellshocknya kembali menguasai jiwanya? Bukankah dokter telah
memastikan kesembuhan Niken. Apakah dokter salah ketik nama? Atau datanya
tertukar layaknya cerita sinetron. Jelas-jelas dokter telah menyatakan
kesembuhan Niken.
Niken terkulai
lemas dan meminta Vida membuka amplop putih yang ia keluarkan dari saku
jaketnya. Surat? Apa semacam surat wasiat. Vida membuka pelan amplop itu,
astaga bahkan tulisan itu terketik rapi. Niken mempersiapkannya begitu
terencana hingga tak ada satupun dari kami yang mengetahui perihal surat itu.
Pelukan erat kembali Vida rengkuhkan terhadap Niken. Keduanya tersenyum laksana
menjemput keabadian.
Vida tersenyum?
Betapa besar hatinya, mengembangkan senyum setelah membaca surat misteri dari Niken.
Kusambar surat putih yang hampir terbang terlepas dari tangan Vida. Tercengang
membacanya.
Tiket Fligt tujuan bandara Sultan IskandarMuda
Aceh, 2seat.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar